SITUASI EKONOMI INTERNASIONAL
Sejak awal sistem kapitalisme lahir, sistem ini membawa serta penyakit yang akan menyeret keadaan ekonomi terhadap negara-negara penganutnya dalam jurang kehancuran akibat krisis. Krisis merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari fase perkembangan system kapitalisme sebagai konsekuensi meletakkan tata kelola ekonomi ekonomi pada kebebasan pasar (baca sejarah perkembangan system kapitalisme) dan pembenaran terhadap penguasaan secara pribadi atas alat-alat produksi. Krisis Amerika Serikat tahun 2008 akibat terjungkalnya bisnis property yang dialami perusahaan lehman brother seketika meng-global dan krisis utang Negara yang jatuh tempo yang dialamiYunani, Italia, Spanyol dan Portugal tahun 2011 memicu kepanikan dipasar keuangan global akibat stagnasi modal. Langkah penyelamatan krisis di Uni-Eropa berupa talangan dana dari Bank Sentral Eropa ke Negara-negara yang terjangkiti krisis dengan syarat Negara-negara tersebut melakukan pengetatan terhadap anggaran Negara tidak juga bisa mengeluarkan Negara-negara itu dari jeratan krisis. Namun krisis semakin meluas di kawasan Uni-Eropa, yaitu dari 17 negara pemakai mata uang tunggal, Sembilan diantaranya mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Negara-negara seperti Amerika Serikat mengkoreksi angka pertumbuhan ekonomi turun menjadi 2,1 persen dari perkiraan awal 2,6 persen. Jepang turun menjadi 0,9 persen dari perkiraan sebelumnya 1,2 persen.
Itu artinya, langkah penyelamatan akan terus diupayakan untuk mengangkat kembali ekonomi Amerika dan Eropa. Dampaknya, diplomasi ekonomi negara maju semakin agresif untuk mendapatkan sumber-sumber pemasukan baru. Diplomasi ekonomi ini bermotif untuk mendapatkan ruang dalam ekspansi modal, pasar dan tenaga kerja. Pertemuan ASEAN SUMMIT di Jakarta tahun 2011, KTT ASEAN di Bali tahun 2013, APEC di CHINA tahun 2014 merupakan dorongan dari Word Bank, IMF dan WTO sebagai langkah penyelamatan krisis global di kawasan ASIA khususnya ASIA tenggara yang sedang stabil pertumbuhan ekonominya. KTT ASEAN di Bali tahun 2013 merupakan agenda penting dalam upaya penyelamatan krisis, yaitu dengan mendorong percepatan pembentukan komunitas ekonomi ASEAN yang diatur dalam blue print Asean Ekonomy Community (AEC)atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan regionalisasi pasar bebas global di kawasan ASEAN. Semula MEA direncanakan berlaku efektif tahun 2025, yaitu setelah mega proyek infrastruktur Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) tahun 2011-2025.
Dominasi imperialisme hari ini berhasil mengintervensi beberapa kawasan untuk melonggarkan pasar dan investasinya, salah satunya kawasan Asia Tenggara. Mulai 1 Januari 2015, Indonesia akan memasuki babak baru dari arus kapital globalisasi, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN. ASEAN tentu akan menjadi lumbung penyelamatan krisis.Blue print MEA setidaknya mengatur tentang : pertama ; aliran bebas barang dan jasa, kedua; aliran bebas investasi, ketiga; aliran bebas modal dan keempat; aliran bebas tenaga kerja terampil.
SITUASI INDONESIA
Tahun 2014 merupakan tahun politik, dimana kesadaran rakyat Indonesia direduksi kedalam drama pesta elit (pemilu) dari demokrasi borjuasi yang diselenggarakan pada 9 april lalu (legislatif) dan 9 juli (pilpres) sebagai jalan merubah keadaan masyarakat Indonesia. Bagi mereka, pentas drama ini merupakan puncak demokrasi Indonesia dimana masa depan bangsa Indonesia akan dipikul oleh orang-orang terpilih layaknya ksatria Pinandito atau satrio Piningit menurut ramalan Joyo Boyo. Rakyat ditanamkan pemahaman bahwa untuk memperbaiki negara dan merubah keadaan menjadi lebih baik adalah melalui PEMILU. Pertanyaannya, apakah benar pemilu (Pemilu 2014) merupakan pesta demokrasinya rakyat Indonesia yang akan memperbaiki kemiskinan, kebodohan dan penderitaan Rakyat dan bangsa Indonesia? Selama ini, elit politik mengatasnamakan rakyat untuk menduduki tampuk kekuasaan. Namun selama itu pula rakyat selalu dan semakin kehilangan hak-hak sosialnya, seperti kehilangan tanah, pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan kehilangan subsidi-subsidi sosial lainnya. Ilusi perubahan yang dijanjikan lewat kampanye-kampanye dari elit-elit borjuasi yang bertarung dalam pemilu legislative maupun pilpres, nyatalah hanya pepesan kosong belaka. Karena pemilu dari demokrasi borjuasi dikendalikan tuan modal, artinya pemilu 2014 hanya akan melahirkan elit-elit politik borjuasi yang taat pada kepentingan klas modal.
Pemilu 2014 juga merupakan pestanya kalangan oportunisme, tidak heran jika pemilu 2014 mendapat sambutan hangat dari pimpinan elit serikat buruh, seperti halnya Said Ikbal pimpinan FSPMI yang mendukung Prabowo untuk mengejar kursi menteri ketenaga kerjaan. Bahkan beberapa serikat buruh dan konfederasi serikat buruh yang memiliki massa anggota yang besar oleh elit pimpinannya diseret kedalam panggung politik borjuasi untuk mendukung elit-elit politik yang bertarung pada pemilu 2014. Di kubu aktifis pendukung Jokowi pun demikian. Mereka menyisir elemen-elemen gerakan untuk bersuara menolak kemunculan Re-Orba-nisasi, yang disematkan pada sosok Prabowo. Slogan-slogan populis pun di siarkan di media-media mereka, seperti “Salam Dua Jari”, “Jangan Pilih Presiden Pelanggar HAM” sampai “Golput atau Jokowi”. Elemen gerakan mahasiswa, tani dan kaum miskin kotapun terang-terangan mendukung Pemilu 2014, bahkan ormas mahasiswa yang tergabung dalam petisi Sembilan (IMM, PMKRI dll) menyatakan dirinya ikut bagian menjadi suksesi Pemilu 2014. Hal ini memicu polarisasi gerakan rakyat dari pusat hingga kedaerah-daerah dan terpecah-pecah berkeping dari awal tahun 2014 hingga bulan Oktober. Konflik kubu Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat membawa serta juga perpecahan di gerakan rakyat, yaitu perpecahan di serikat buruh yang mendukung JOKOWI dan PRABOWO. Sementara yang mengatasnamakan diri gerakan kiri juga ikut terlena dalam PEMILU 2014 dan hanya sebagian kecil gerakan kiri yang bener-bener menjadi oposisi pada pemilu 2014.
Segara setelah pemilu berakhir rezim yang berkuasa (JOKOWI-JK) yang didukung oleh elit-elit dan partai-partai politik borjuasi mengukuhkan dirinya sebagai rezim neoliberalisme, yaitu rezim yang secara terang-terangan menunjukan keberpihakannya pada kaum hartawan dengan memasifkan agenda liberalisasi segala sector. Belum saja genap sebulan rezim JOKOWI-JK berkuasa, subsidi BBM dicabut dengan menaikan harga BBM pertengahan November kemarin. Kebijakan liberalisasi (penghapusan konsep barang-barang publik), swastanisasi BUMN dan LIBERALISASI ekonomi adalah kebijakan neoliberalisme UNTUK penyamarataan bentuk barang dan jasa (komoditisifikasi) dalam pasar bebas yang diatur melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN.
KEBIJAKAN NEOLIBERALISME mendapat respon perlawanan dari rakyat. Gerakan rakyat kembali mengalami fase pertumbuhan paska rezim JOKOWI-JK dilantik bulan oktober lalu, yaitu gerakan buruh mulai bergejolak menuntut kenaikan upah, jaminan kesehatan dan penghapusan system kerja kontrak dan outshorcing, hingga puncaknya pada aksi penolakan kenaikan harga BBM pertengahan bulan desember. Masifnya gejolak gerakan rakyat menolak kenaikan harga BBM, baik kalangan buruh maupun gerakan mahasiswa, hingga pada bulan desember beberapa serikat buruh merencanakan pemogokan nasional. KONPENSASI kenaikan harga lewat kartu sakti JOKOWI “Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP)) adalah obat penenang untuk meredam gelombang perlawanan rakyat akibat kenaikan harga BBM. Gejolak perlawanan rakyat Indonesia cukup MASIF diawal-awal kepemimpinan rezim neoliberal JOKOWI-JK tidak didukung oleh persatuan, gerakan rakyat masih saja bersifat sekte-sekte yang menandakan masih minimnya kesadaran akan pentingnya PERSATUAN sebagai tonggak utama berhadap-hadapan dengan rezim yang nyata berpaling dari kepentingan kelas mayoritas (rakyat Indonesia).
Mestinya kita belajar dari setiap fase pelaksanaan pemilu paska tumbangnya rezim orba tahun 1998, bahwa dari sekian kali pergantian rezim belum ada satupun rezim beserta elit-elit politik dan partai-partai politik dengan tegas anti terhadap kapitalisme. Artinya, kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran tidaklah mungkin akan dicapai oleh rakyat Indonesia mana kala dititipkan pada elit-elit politik dan partai-partai politik borjuasi yang ada. Bahwasanya penyelenggaraan pemilu dari demokrasi borjuasi adalah tipu daya dari elit dalam mencapai kekuasaan untuk menindas dan menghisap rakyat. Bahwasanya, perubahan nasib rakyat Indonesia tidaklah bisa dilepercayakan pada elit-elit politik dan partai-partai politik borjuasi, hanya persatuan perjuangan rakyat yang akan mampu mengantarkan rakyat Indonesia pada kemerdekaan 100%, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan. Bukan saatnya lagi saling tunjuk siapa salah atau siapa lebih benar tentang arah gerak. Hal yang mendesak adalah segera bangun persatuan gerakan, bangun politik alternatif yang membawa demarkasi jelas terhadap kapitalisme dan tipu daya elit borjuasi.
Perkembangan dan bergantinya pemerintah tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan kondisi pendidikan di Indonesia. Silih berganti kepemimpinan negara hanya menjadi ajang bergantinya kebijakan/peraturan untuk terus memuluskan komersialisasi dan liberalisasi di dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat mulai dari Perjanjian kerjasama Indonesia dengan GATTs 1995 tentang perdagangan jasa pendidikan, PP nomor 61 Th 1999, PT.BHMN, UU Sikdiknas sampai dengan UU Dikti, yang keseluruhannya memberikan isyarat penerapan liberalisasi, komersialisasi dan privatisasi di dunia pendidikan.
Dalam UU DIKTI seluruh kepentingan yang diajukan oleh para kapitalis telah diakomodir. Sehingga watak rezim yang terus mengabdi pada kepentingan imperialisme terlihat jelas. Pada naskah resmi UU DIKTI, pasal 48 khususnya ayat 1 dan 4, perguruan tinggi diwajibkan untuk melakukan kerjasama dan pengabdiannya kepada dunia usaha dan industri, kemudian pemerintah juga berkewajiban memfasilitasi kerjasama dan kemitraan perguruan tinggi dengan dunia usaha dan dunia industri. Hal ini memperjelas bahwa pendidikan tinggi diorientasikan untuk mengabdi pada dunia usaha dan industri yang dikuasai oleh para kapitalis, sehingga perguruan tinggi melalui penelitiannya dan para intelektualnya dapat disetorkan untuk tetap menstabilkan kepentingan imperialisme di Indonesia. Lalu, Pasal 65 tentang wewenang PTN menerapkan sistem pengelolaan BLU dan PTN Badan Hukum. Pada pasal ini ditegaskan bahwa PTN dengan kualifikasi tertentu yang ditentukan oleh menteri dapat diberikan keleluasaan untuk melakuakn usaha mandiri dalam hal akademik maupun non akademik. Perguruan tinggi kemudian dapat mengelola keuangan dan membuat/membentuk/mendirikan unit usaha dan menetapkan sumber pemasukan lain untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan. Sementara, pada Pasal 85 UU DIKTI membatasi dan membagi beban pembiayaan pendidikan tinggi yang merupakan tanggung jawab penuh pemerintah kepada mahasiswa, orang tua mahasiswa, dan atau yang membiayainya. Hal inilah yang sangat memungkinkan perguruan tinggi memungut biaya pendidikan yang tinggi dari rakyat dan menumpahkan bebannya kepada rakyat. Pada Pasal 86, disini juga terlihat bagaimana dominasi kapitalis internasional dalam menetukan nasib pendidikan tinggi. UU DIKTI menghendaki pemerintah untuk mendukung dan memfasilitasi dunia usaha dan dunia industri untuk memberikan bantuan kepada perguruan tinggi, kemudian setelah itu pemerintah akan memberikan insentif kepada dunia usaha dan dunia industri yang telah memberikan bantuan atau sumbangan untuk penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini, pemerintah kembali membagi atau menggantungkan nasib dunia pendidikan tinggi kepada kebaikan para pemodal.
Tidak ada pendidikan gratis di Indonesia. UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang dibangga-banggakan Badan Hukum Perguruan Tinggi Negeri (BHPTN) bukan solusi atas minimnya partisipasi RAKYAT MISKIN terhadap pendidikan tinggi dan tidak mengurangi angka putus kuliah. Sistem subsidi silang yang menjadi andalan UKT sangat membatasi akses mahasiswa kurang mampu dengan mematok maksimal 20 % beasiswa Bidik Misi Universitas. Tak ada pendidikan yang demokratis di Indonesia. Banyak kampus terang-terangan melakukan intervensi terhadap dinamika politik dan aktifitas mahasiswa. Salah satu praktiknya adalah melarang aktifitas politik dan melakukan kampanye hitam terhadap organisasi-organisasi ekstra kampus. Mereka secara sepihak menuduh organisasi ekstra kampus sebagai biang kerok instabilitas kampus dan mengganggu aktifitas akademik mahasiswa. Praktik ini mengingatkan kita pada skema NKK/BKK masa Orde Baru yang mencoba memberangus budaya kritis mahasiswa. Belum lagi sistem presensi yang sangat ketat, dan dengan konyol semena-mena memberikan sanksi larangan ujian mahasiswa yang tidak memenuhi absensi 75%-90%, hal itu semakin diperkuat dengan lahirnyaPERMENDIKBUD No.49 tahun 2014 tentang pembatasan usia akademik, yaitu S1 paling lama 5 tahun (termasuk cuti setahun).
PENDIDIKAN DASAR dan MENENGAH tentang pelaksanaan Ujian Nasional yang masih dijadikan penentu kelulusan siswa, padahal pada tahun 2008 sistem Ujian Nasional telah Batal secara hukum melalui Mahkamah Agung Republik Indonesia terhadap perkaraNo.2596 K/PDT/2008 karena bertentangan dengan UUD 1945 dan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional serta PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional dan memperkuat putusan pengadilan Tinggi Jakarta yang menolak kasasi Pemerintah untuk tetap melaksanakan ujian nasional. Tetapi pada faktanya, Ujian Nasional masih diterapkan Hingga Sekarang.
Permasalahan di dunia Perguruan Tinggi tidak hanya berakhir pada masalah biaya pendidikan yang semakin mahal dan privatisasi kampus namun juga dalam hal pembatasan demokratisasi mahasiswa di dalamnya. Seperti yang dapat kita lihat sekarang Pemerintah dan perguruan tinggi, terus berusaha memberangus nilai-nilai demokratisasi mahasiswa di kampus. Pada pasal 77 ini dapat kita nilai bahwa budaya kampus yang mengekang kebebasan berorganisasi pada masa otoriter Soeharto masih tetap berlaku di kampus sampai saat ini. NKK/BKK berkembang dan tetap tumbuh subur dalam UU Pendidikan Tinggi. Perampasan hak demokratis mahasiswa semakin nyata, dimana semakin hilangnya kebebasan berorganisasi, mengeluarkan pendapat, menjalankan aktfitas dan kebudayaan lainnya di dalam kampus. Normalisasi kampus tetap dilanggengkan agar mahasiswa semata-mata fokus dengan kegiatan akademik, dies natalis, menwa, minat bakat dan lain-lain.
Dan parahnya lagi pasal 77 ayat 3 tersebut, sesungguhnya adalah bentuk diskriminasi terhadap mahasiswa-mahasiswa untuk mendapatkan hak atas kebebasan untuk berorganisasi. Perguruan tinggi seakan-akan merawat iklim demokrasi di kampus melalui organisasi intra saja, tanpa memaknai bahwa mahasiswa-mahasiswa harus dijamin pula membentuk organisasi yang benar-benar lahir dari aspirasi mahasiswa itu sendiri. Diskriminasi ini pun masih dikuat dengan SK Dirjen Dikti No. 26 Tahun 2002 Tentang pelarangan organisasi ekstra di kampus. Lagi-lagi kebebasan berdemokrasi di kampus dipasung dengan regulasi dan menanamkan paradigma organisasi intra dan ekstra yang sesungguhnya tidak mencermikan kebebasan alam berdemokrasi di kampus.
Gerakan mahasiswa harus bersatu, merumuskan kembali strategi memenangkan perjuangan perjuangan normatif kampus dan mengorganisir luas kesadaran kaum mahasiswa dan pelajar untuk kembali berlawan. Selain itu, gerakan mahasiswa harus menanggalkan watak sektariannya, membangun solidaritas dan persatuan dengan gerakan buruh, gerakan tani dan sector lainnya. Di tahun 2015, dimana akan segera diberlakukan liberalisasi pasar tenaga kerja, hendaknya menjadi tahun ancaman buat kaum pelajar (baca : calon buruh), jika hari ini tidak segera mengorganisasikan diri dan kelompoknya dalam persatuan gerakan rakyat.
- KEADAAN PERBURUHAN dan KONFLIK AGRARIA
Dengan langgengnya praktek Labour Market Flexibility akan semakin menjerat kelas pekerja dalam ketidakpastian melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing serta menekan kesejahteraan dengan politik upah murah dan pemberangusan serikat (Union Busting) yang tidak mampu dijawab oleh rezim dan elit politik hingga saat ini. Dipenghujung tahun 2014 perjuangan buruh menuntut kenaikan upah untuk tahun 2015 justru dihadapkan dengan kenaikan harga BBM, artinya perjuangan kenaikan upah sebesar 20-30 % tidak sebanding dengan lonjakan harga kebutuhan sehari-hari akibat kenaikan harga BBM, begitupun keadaan agrarian, dari data yang dihimpun oleh KONSORSIUM PEMBAHARUAN AGRARIAN (KPA) di tahun 2014 konflik agrarian justru meningkat tajam dibanding tahun-tahun sebelumnya, koflik di Karawang dan di Jawa Tengah adalah sederet dari kasus konflik agrarian akibat perampasan tanah petani oleh Negara maupun oleh pengusaha.
Masih segar dalam ingatan kita, kasus kekerasan dan pembubaran paksa yang dilakukan oleh aparat negara diberbagai daerah terhadap aksi penolakan kenaikan harga BBM hingga menimbulkan korban nyawa M. Arif di Makassar tanggal 27 november lalu. Aksi-aksi buruh menuntut kenaikan upah juga tidak luput dari kekerasan dan pembubaran paksa yang dilakukan oleh pihak TNI maupun kepolisian. Begitupun aksi-aksi petani di jawa tengah dan kaum miskin kota di Jakarta kemarin yang rumahnya digusur.
Sudah jelas siapapun rezim yang berkuasa, dibawah system kapitalisme rezim mestilah menggunakan perangkat keras Negara untuk membredel gerakan rakyat. Bahwa demokrasi borjuasi hanyalah tipu daya untuk menyeret kita kedalam bilik suara sekali dalam 5 tahun, dan setelah itu rakyat hanyalah objek penindasan dan penghisapan bagi kelas yang berkuasa.
BERSATULAH RAKYAT INDONESIA
PERSATUAN,… PERSATUAN,.. PERSATUAN,... karena sejarah telah menunjukkan dan membuktikan, bahwa kemerdekaan, kebebasan, kemenangan, adalah buah dari perjuangan kolektif, karya rakyat yang disatukan dalam ALAT PERJUANGAN sebagai senjata untuk menunjukkan pada kelas penguasa bahwa kekuasaan mereka tidak mampu memberikan kesejahteraan kepada Rakyat.
Hidup Rakyat !
Republik Indonesia, 31 Desember 2014
Komite Pimpinan Pusat Serikat Mahasiswa Indonesia