Sejarah Lahirnya Serikat Mahasiswa Indonesia
Embrio Persatuan Serikat Mahasiswa Indonesia ( SMI ) adalah
organisasi yang tidak lahir begitu saja, namun SMI mempunyai sejarah yang cukup
panjang terutama dalam proses pembangunannya. Diawali sejak akhir tahun 2001
terbentuk Komite Pendidikan Bersama Indonesia ( KPBI ) yang terdiri dari
Organisasi-Organisasi gerakan mahasiswa tingkat kota (wilayah) yaitu Keluarga
Mahasiswa Yogyakarta (KMY), Komite Mahasiswa Mataram (KOMIT) setelah melakukan
ekspansi di beberapa kampus berubah namanya menjadi Komite Mahasiswa Mataram
untuk Demokrasi (KOMID), Dewan Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi (DEMARKASI–Malang)
& Komite Mahasiswa Malang untuk Demokrasi (KOMANDO) yang dalam prosesnya
kedua organisasi di Malang tersebut melakukan Unifikasi dan berubah menjadi
Serikat Mahasiswa Malang (SMM), Di Semarang ada Serikat Mahasiswa Kaligawe (SEMAK)
yang kemudian berubah menjadi Keluarga Aktivis Mahasiswa Demokratik (KAMD)
setelah melakukan perluasan di beberapa kampus di Semarang, Di Pekalongan ada
Keluarga Mahasiswa Sekolah Sadar Sosial (KM-S3), Di Jakarta ada Gerakan
Mahasiswa Jakarta (GMJ) dan KM-Gunadharma serta KM-ISTN yang juga melakukan
unifikasi menjadi Gerakan Mahasiswa Jabodetabek (GM-Jabodetabek), Di Surabaya
ada Serikat Mahasiswa untuk Rakyat (SAMSARA), Di Bengkulu ada Solidaritas
Mahasiswa untuk Demokrasi (SMUD), Di Palembang ada Gerakan Solidaritas
Mahasiswa Palembang (Gersos- MP), Di Jombang ada Komite Aksi Mahasiswa Jombang
(KAMAJO) dan Jaringan Solidaritas Mahasiswa Jombang (JSMJ) yang kemudian
unifikasi menjadi Serikat Mahasiswa Jombang (SMJ), Di Pasuruan ada Forum
Diskusi Mahasiswa Merdeka (FORDISMA).
Bahwa fragmentasi yang terjadi dalam perkembangan gerakan mahasiswa di Indonesia, salah satunya disebabkan oleh sisa-sisa pola gerakan mahasiswa 1998 ketika Indonesia di bawah rezim ditaktor otoriterian “Soeharto”.
Semangat persatuan yang ada di masing-masing organisasi di setiap wilayah Indonesia tersebut menjadi benang merah yang terus diproses secara bersama-bersama menuju tahapan-tahapan yang kualitatif. Artinya ketika kita bersama memandang persoalan di setiap kampus / universitas, khususnya dunia pendidikan serta permasalahan rakyat lainnya secara umum. Ternyata memang berasal dari satu sumber kebijakan yaitu Negara beserta alat-alatnya yang memang masih sangat tunduk kepada kaum modal (kapitalisme internasional). Artinya beberapa persoalan yang muncul tidak dapat diselesaikan dengan alat perjuangan yang mempunyai karakter lokalistik atau bersandar pada setiap wilayah saja, akan tetapi dibutuhkan alat persatuan dan perjuangan secara nasional yang dapat lebih keras ketika memukul rezim borjuasi.
KPBI (Komite Pendidikan Bersama Indonesia) pada waktu itu melakukan pendidikan-pendidikan
bersama secara nasional dan melakukan pertemuan-pertemuan yang terdiri dari
pertemuan sisipan setiap 3 bulan sekali dan pertemuan Nasional setiap 6 bulan
sekaligus pelatihan nasional, Dalam proses Dialektikanya ketika perspektifnya
semakin maju maka kemudian pada saat pertemuan KPBI di semarang tahun 2004
menghasilkan keputusan untuk mempersiapkan kerangka bangunan Ormass Mahasiswa
Tingkat Nasional. Pada pertemuan tersebut pula KPBI berubah menjadi Komite
Persiapan Serikat Mahasiswa Indonesia ( KP – SMI ), Setelah itu kemudian mulai
berbicara tentang kebutuhan-kebutuhan pembangunan Ormass Mahasiswa tingkat
Nasional, KP-SMI secara struktur terdiri dari Sekretaris Umum, Komisi
Pendidikan dan Propaganda, Komisi Organisasi dan Jaringan kemudian setelah ada
kebutuhan lebih lanjut komposisinya ditambah satu perangkat lagi yaitu Ketua
Umum, Semua perangkat tersebut bekerja untuk penguatan Infrastruktur dan
Suprastruktur Organisasi.
Kemudian setelah seluruh proses Komite Persiapan berjalan, maka
pada tanggal 15-18 Agustus 2006 Serikat Mahasiswa Indonesia / SMI melangsungkan
Konferensi Nasional (KONFERNAS) yang pertama di Semarang, Sejak tanggal 17
Agustus 2006 (Hari Kelahiran SMI) maka secara De facto maupun De jure telah
berdiri satu Organisasi Massa Mahasiswa Tingkat Nasional yaitu Serikat
Mahasiswa Indonesia (SMI) yang siap berdinamika di kancah Gerakan Demokratik
tingkat Nasional dan siap mengemban tugas-tugas perjuangan massa Mahasiswa di
Indonesia.
Semangat
Menuju Kepeloporan Gerakan Mahasiswa
Sebagai sebuah organisasi revolusioner, kita tidak bisa lepas dari
hukum sosial tentang kehidupan kolektif. Kita, seperti organisasi-organisasi
kebanyakan, terdiri dari kumpulan orang-orang yang berbeda-beda kepribadiannya.
Secara teoritik, setiap anggota organisasi revolusioner menganut garis ideologi
revolusioner proletarian. Dalam prakteknya, watak-watak kelas yang dimiliki
para anggota kita sering kali menghambat penyaluran total aspirasi ideologis
dalam benak mereka. Terjadilah kesenjangan antara teori dan praktek.
Dibesarkan dalam keluarga borjuis atau borjuis kecil, dipengaruhi
lingkungan yang penuh dengan hegemoni kapitalisme, sangat sulit untuk
mematerialkan kesadaran ideologis yang diperoleh hanya dari sekadar membaca
atau berdiskusi. Ideologi tidak mungkin tertanam lewat diskusi semata atau
berdialektika dengan bacaan-bacaan. “Belum dapat dikatakan beriman seseorang
sehingga Kami uji (dengan aktivitas revolusioner -pen),” firman Tuhan dalam
kitab suci. Kunci keyakinan ideologi seorang anggota terletak pada hasil
perbenturan (kontradiksi) antara teori dan realitas. Inilah kebenaran filsafat
materialisme-dialektik yang kita pelajari.
Kolektivitas adalah kunci pertahanan diri terhadap lingkungan.
Kolektif hanya bisa dibangun dengan melakukan disiplin organisasi yang ketat.
Ada bermacam-macam modus pendisiplinan dalam masyarakat dengan intensitas yang
berbeda-beda. Ada pendisiplinan di tubuh organisasi militer, di pabrik, di
sektor-sektor jasa (distribusi, utilitas dan sebagainya), di ladang pertanian,
di perkebunan, dikapal nelayan, di sektor informal, di sekolah, di perguruan
tinggi, di dalam keluarga, di dalam lembaga-lembaga formal (institusi), dsb.
Hubungan antara manusia dengan alat-alat produksi menentukan watak kolektif
dalam organisasi. Misalnya di pabrik, kelas buruh dikondisikan untuk bekerja
dalam irama mesin. Lalai sedikit, produk yang dihasilkan oleh sistem produksi
yang serba otomatis bisa berantakan. Sanksinya adalah pemotongan upah atau
bahkan pemecatan. Buruh bekerja dalam shift, dan mereka hanya diperbolehkan
meninggalkan tempat kerja ketika buruh shift berikutnya datang untuk
menggantikan kedudukannya. Kerja dipabrik selama berhari-hari, berbulan-bulan,
bertahun-tahun, dengan irama kerja mekanis, membentuk disiplin dalam diri
buruh. Mereka harus bangun pagi-pagi sebelum jam kerja, harus menjaga waktu
istirahat dengan waktu rekreasi, mengatur pengeluaran dari upah sebulan, dsb.
Disiplin pabrik menciptakan disiplin pribadi. Disiplin pabrik juga menciptakan
watak kolektif antara sesama pabrik. Di pabrik, mereka bertemu dan berinteraksi
setiap hari. Mereka mengerjakan alat-alat yang sama. Mereka menyadari bahwa
mereka adalah satu kesatuan, tiap bagian menentukan keseluruhan proses
produksi. Karena itu, aksi mogok spontan buruh sangat mudah terjadi.
Solidaritas sesama buruh bisa memicu perlawanan dalam bentuk massa.
Kolektivitas terbangun ketika ada norma-norma sosial yang mengikat, dalam hal
buruh pabrik adalah peraturan pabrik yang mengikat kerja-kerja mereka.
Sekolah menerapkan disiplin secara lebih longgar, dan lebih
longgar lagi adalah perguruan tinggi. Sekolah mengharuskan pelajar masuk tiap
hari, dari jam tujuh pagi sampai jam dua siang. Pelajar harus duduk tenang di
kelas ketika guru mengajar. Ada etika pelajar yang ditanamkan sejak pertama
kali masuk sekolah dasar, bahkan di TK. Dalam selang catur wulan, mereka harus
siap-siap untuk mengikuti ujian, sehingga mereka dipaksa untuk mengatur waktu
sedemikian rupa agar tidak tinggal kelas. Tinggal kelas adalah cacat besar bagi
pelajar, jauh dibandingkan dengan beban SPP yang harus dibayar. Kolektivitas di
sekolah cukup kuat. Tawuran-tawuran antar-sekolah menunjukkan solidaritas
pelajar yang sangat kuat di tiap sekolah. Mereka membanggakan sekolahnya
masing-masing. Biasanya ada acara-acara lomba antar-sekolah untuk menciptakan
kompetisi, dan dibentuk pula lah solidaritas sekolah. Kemudian di Perguruan
Tinggi, karena ikatannya lebih longgar, mahasiswanya susah dipersatukan.
Mahasiswa secara inisiatif membentuk wadah-wadah sendiri dalam bentuk himpunan,
unit kegiatan dan senat mahasiswa. Tiap organisasi mempunyai karakter sendiri,
dengan tingkat kolektivitas beragam. Karenanya tidak heran, senat-senat
mahasiswa rata-rata tidak mengakar ke massa, karena fragmentasi yang sangat
besar di massa mahasiswa. Begitu banyak organisasi di kampus yang menawarkan
kolektivitas yang lebih menyenangkan. Belum lagi adanya disiplin perkuliahan
yang menuntut perhatian ekstra mahasiswa.
Solidaritas disektor informal, pertanian, jasa dan lain-lain lebih
lemah daripada pabrik, tetapi bukan berarti tidak cukup kuat. Relasi mereka
dengan alat-alat produksi yang berbeda dengan buruh menciptakan model
solidaritas kolektif yang berbeda pula. Petani mempunyai ikatan kuat dengan
tanah garapan dan alat-alat pertaniannya, melebihi solidaritas dengan sesama
petani lainnya. Perdukuhan yang letaknya berjauhan, dipisahkan oleh bentangan
sawah, mencegah interaksi yang lebih kohesif antara petani di satu dukuh dengan
dukuh lainnya. Maka tidak heran perlawanan petani dalam sejarahnya selalu
muncul dalam bentuk aksi-aksi lokal. Tetapi letak mereka yang terpencar,
tersebar di semua tanah-tanah subur di seluruh negeri, menyebabkan aksi-aksi
lokal membentuk skala nasional dan bisa mengancam kekuasaan. Jika ada
organisasi tani yang mampu menyatukan mereka, perlawanan petani bisa diarahkan
ke dalam revolusi sosial.
Dari bukti-bukti diatas maka perlulah kita untuk membangun
kedisiplinan. Kita harus berani merombak hal buruk yang selama ini menjadi
“tradisi”. Organisasi yang menjadi bagian dalam perjuangan Revolutioner,
berfikir secara Materialis Dialektika menjadi dasarnya dimana salah satu faktor
perubahan dari Kuantitatif menjadi Kualitatif harus segera ditanamkan. Sehingga
nantinya organisasi kita menjadi organisasi yang kuat dalam kualitas dan tajam
dalam menganalisa. Kedisipinan dalam organisasi mutlak harus dilakukan sebagai
salah satu faktor untuk menjadikan organisasi yang radikal, progresif dan
revolutioner.
Ditengah semakin masifnya kekuasaan kapitalisme di seluruh sektor rakyat,
terkhusus di dunia pendidikan, maka menjadi tugas Serikat Mahasiswa Indonesia
untuk terus memperbesar kekuatan, memperkokoh pondasi organisasi, memperluas
sekawan perjuangan dan teguh memegang prinsip pembebasan nasional lawan imperialisme.
SMI mengemban satu tugas penting, yaitu membangun kepeloporan gerakan mahasiswa
di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan bagi SMI di tengah carut-marut situasi
pendidikan dan polarisasi gerakan mahasiswa yang rawan terjangkit oportunisme
dan elitis.
Serikat Mahasiswa Indonesia akan terus menggelorakan perlawanan terhadap
Kapitalisasi Pendidikan. Kalau kita belajar dari pengalaman gerakan mahasiswa
dalam memperjuangkan hak-hak atas pendidikan dari berbagai negara, gerakan
mahasiswa Indonesia masih jauh tertinggal. Gerakan mahasiswa di Praha,
Perancis, Chile adalah beberapa negara yang perlu kita pelajari. Bahwa mereka
mampu menggelorakan perjuangan sektor pendidikan yang dimulai dari
tuntutan-tuntutan normatif mahasiswa di kampus... HINGGA meluas menjadi
persoalan SOSIAL yang mampu menggerakkan Kelas Buruh, Guru, Dosen, Seniman dll.
Menjadi sangat penting bagi SMI untuk membangun KESADARAN tiap anggota
khususnya dan Rakyat pada umumnya, bahwa persoalan-persoalan pendidikan adalah
PERSOALAN BERSAMA bagi RAKYAT yang ditindas oleh sistem kapitalisme.
Untuk itu, penting bagi kita merumuskan apa saja yang menjadi
FOKUS PERJUANGAN SMI di sector pendidikan baik dalam bentuk kampanye maupun
perjuangan-perjuangan menuntut hak-hak sector pendidikan.
Fokus kampanye:
“LAWAN
KAPITALISASI PENDIDIKAN!!!”
Dengan memassifkan perjuangan-perjuangan ekonomis sektor
pendidikan yang dimulai dari tingkat kampus sebagai upaya melancarkan POLITIK
PENYADARAN MASSA dan RADIKALISASI
GERAKAN MAHASISWA.
Dengan Target tuntutan:
1. Cabut UU No. 20 thn 2003 tentang
SISDIKNAS.
2.
Cabut UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
3.
Berikan kebebasan berekspresi, berpendapat dan
berorganisasi
4.
Stop represifitas di dunia pendidikan
5.
Tolak liberalisasi dan komersialisasi pendidikan
6.
Libatkan mahasiswa dalam setiap pengambilan kebijakan
di kampus.
7.
Transparansi biaya pendidikan.
Sangat perlu kita tegaskan kawan-kawan sekalian, bahwa Serikat
Mahasiswa Indonesia sebagai organisasi massa mahasiswa yang berwatak demokratik
serta senantiasa menghendaki perubahan, mensyaratkan kita untuk memiliki
karakter yang progresif revolusioner, senantiasa terus berpraktek dan
menteorikan praktek untuk memperbaiki kekeliruan dan kesalahan praktek. Maka
Serikat Mahasiswa Indonesia tidak perlu segan dan takut untuk menyampaikan
maksud dan tujuannya secara tegas dan terang-terangan di hadapan kelas penindas
dan massa rakyat melalui perjuangan yang revolusioner.
Mari, menjadi generasi pejuang pembebasan nasional !
Viva SMI !
5 komentar:
Mantaappp...
Mirip ideologi sosialisme komunisme
Tetap smangat SMI
Apa slogan smi?
Mantappp ,saya suka yg warna merah
Posting Komentar