Translate

Jumat, 26 Desember 2014

UU PILKADA DAN DEMOKRASI

UU PILKADA DAN DEMOKRASI



Demokrasi Borjuasi : Melahirkan Kesengsaraan Rakyat

Agustus lalu, genap 69 tahun sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, pada kenyataannya kita tak kunjung lepas dari penjajahan modal. Selain nostalgia semu soal kemerdekaan, tahun 2014 menjadi momen politik yang menentukan pergantian rezim pro modal ke rezim pro pasar bebas berikutnya, Jokowi-JK. Di tengah gegap-gempita pemilu dan kisruh parlemen elit hari ini, tentunya kita tidak bisa melepas bagaimana situasi nasional Indonesia yang akan bergejolak. Hal yang paling penting untuk kita tinjau adalah bagaimana situasi ekonomi nasional prapemilu maupun pasca pemilu berlangsung.
Pasca krisis global pada tahun 2008, kita dihadapkan dengan situasi penyelamatan krisis global. Penyelamatn krisis tersebut dijalankan dengan skema agenda kompetis pasar bebas (globalisasi) di seluruh kawasan di dunia. Skema globalisasi dijalankan melalui skema liberalisasi dalam tiga aspek yaitu liberalisasi modal, liberalisasi pasar dan liberalisasi tenaga kerja. Di kawasan Asia Tenggara sendiri skema tersebut dilakukan dengan merealisasikan pasar bebas antar negara di kawasan tersebut. Misalnya kesepakatan pasar bebas AC-AFTA, AIFTA, yang menghantarkan Indonesia  ke dalam situasi keruntuhan kedaulatan ekonomi. Pada tahun 2015 nanti kita akan dihadapkan pada pengesahan persaingan bebas antar kawasan ASEAN melalui kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). MEA merupakan turunan dari berbagai kesepakan internasional yang gencar dilakukan pada akhir 2013. Beberapa pertemuan internasional tersebut diantaranya pertemuan WTO, APEC, G-8, G-20, dan sejenisnya. Dengan alibi kerjasama ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi nasional, mereka menawarkan obat mujarab dari krisis, yaitu pembukaan pasar bebas, liberalisasi arus modal dan liberalisasi pasar dan liberalisasi tenaga kerja.
Lantas dirumuskan kebijakan-kebijakan pendukung dari skema penyelamatan krisis tersebut, yaitu pencabutan subsidi di sektor publik, salah satunya BBM. Jokowi-Jusuf Kalla berkoar bahwa beban subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN mencapai Rp. 291,1 triliun bph.—sebagaimana hal ini terekam di dalam rumusan RAPBN 2015 – maka harga BBM harus dinaikkan. Oleh karena itu, situasi seolah-olah tak ada pilihan lain bagi rakyat, selain diminta untuk berhemat dan “nerimo” terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Padahal dampak dari kenaikan harga energi tersebut, jelas akan memukul sektor riil dan akan memperbesar jumlah keluarga miskin yang hidupnya bergantung pada upah.
Demokrasi yang dielu-elukan sepanjang momen menjelang Pemilu kemarin, hanya menawarkan pepesan kosong terhadap kesejahteraan rakyat. Sebab, siapapun presiden dan wakilnya, dari kelompok manapun parlemen dan komisi-komisinya, akan tetap meneruskan agenda liberalisasi ekonomi di negeri ini, yaitu skema pencabutan subsidi dan MEA 2015. Sebab, titik poin dari skema MEA 2015 adalah memperluas pasar dan produksi bagi imperialisme, si tuan modal besar. Liberalisasi tak hanya mengakar pada kebijakan dan pada pemerintah pusat, namun pembentukan KEK yang disokong oleh regulasi ekonomi tersebut, membuat cengkeraman modal kuat mengakar sampai ke riak bawah. Posisi pemerintah bukan sebagai kontroling, tapi sebagai pembuat kebijakan pro-modal. Oleh karena itu, baik dari pemerintah pusat, pemerintahan daerah hingga sekup birokrasi terkecil, kelurahan – yang lahir, tumbuh dan berkembang di dalam sistem demokrasi borjuasi, hanya akan menjadi pemulus kepentingan borjuasi pula, yang berorientasi profit.

Pilkada Langsung Atau Tidak Langsung – Bukan Solusi
Sebelum bergulir kontroversi UU Pilkada, terlebih dahulu sudah disahkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang pemilihan MD3 (DPR, DPD dan MPR). Kemudian baru disahkan UU Pilkada yang mengatur tentang mekanisme pemilihan kepala daerah (BAB II, pasal 2, 3, 4, 5, dan 6). Pihak-pihak yang paling berkepentingan dengan sistem pemilihan tersebut tak lain adalah kubu Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Hanura, PKB, Demokrat) yang pro Pilkada langsung versus kubu Koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, PKS, PAN) yang menyetujui UU Pilkada. Kondisi itu menunjukkan bahwa situasi kebangkrutan parlemen borjuasi hari ini tengah menghasilkan konflik elitis yang memperhadapkan dua kubu : pendukung pilkada langsung versus pilkada lewat DPRD. Opini publik kemudian digiring ke pilihan pilkada langsung atau tidak langsung - menjadi satu-satunya ruang pertaruhan bagi nasib rakyat. Akhirnya, semua seolah sibuk hanya berdebat soal teknis-prosedural dari demokrasi, tapi mengabaikan persoalan paling pokok : bahwa bangunan demokrasi adalah demokrasi borjuasi, yang akan tetap berorientasi pada kepentingan kaum modal.
Lantas bagaimana situasi demokrasi kita sesungguhnya?
Pertama, telah terjadi pembatasan demokrasi jauh-jauh hari. Paket UU yang dilahirkan dari sistem demokrasi borjuasi liberal seperti UU Kamnas, UU Ormas, UU no 8/2012 tentang Pemilu, dan perangkat regulasi lainnya menjadi manifestasi yang bermotif mempertahankan kekuasaan borjuasi. Situasi kongkritnya, rakyat kembali menjadi komoditas politik, dengan mereduksi makna demokrasi hanya sekedar hak memilih (right to vote), baik memilih badan perwakilan maupun pejabat eksekutif, dalam bilik suara setiap lima tahun sekali. Perangkat UU yang dihasilkan oleh parlemen borjuasi tidak akan memposisikan partisipasi rakyat dalam berbagai proses pengambilan kebijakan yang menyangkut publik/rakyat. Tak perlu heran jika sekonyong-konyong muncul satu-per satu regulasi yang jelas motifnya untuk memperbesar akumulasi kapital.
Kedua, dalam parlemen borjuasi, kita dibuat berilusi bahwa lewat para perwakilan rakyat yang terpilih ini (badan legislatif) maka rakyat punya kendali atas birokrasi pemerintah (badan eksekutif). Padahal, para birokrat pemerintah yang tidak dipilih inilah yang sebenarnya menjalankan fungsi-fungsi pemerintah di belakang layar, sementara parlemen hanya jadi tempat debat kusir untuk mengelabui rakyat. Salah satu contoh, UU Ketenagakerjaan merupakan produk politik parlemen. Seolah UU ini menjadi jaminan bagi kesejahteraan buruh, akan tetapi pada tingkatan kementrian atau badan-badan yang terkait sering kali tidak ada implementasi atau pengawasan. Pelanggaran dibiarkan. Sementara hukum bisa dibeli dengan uang. Tak usah heran, birokrasi yang dianak-pinakkan oleh sistem demokrasi hanya akan menghasilkan kesengsaraan bagi rakyat. Mudah kita temui kasus korupsi, suap-menyuap antar elit hingga Pemilu setingan ala transaksi uang sudah mendarah daging dalam demokrasi liberal ini. Kebobrokan borjuasi inilah yang dimanfaatkan oleh kaum modal untuk terus mengakumulasi kekayaan, sehingga disisi lain mengakumulasi kesengsaraan rakyat.
“Demokrasi borjuasi, walaupun adalah sebuah kemajuan historis yang besar dibandingkan dengan abad pertengahan, akan selalu terbatas, tidak lengkap, dan munafik, sebuah surga untuk yang kaya dan jebakan dan tipuan bagi yang tertindas, bagi yang miskin.” (Negara dan Revolusi - 1917, Lenin)
Polemik Pilkada langsung ataupun tidak langsung, hanya akan berputar-putar pada persoalan bagaimana mempertahankan demokrasi dan parlemen borjuasi saja. Tidak akan ada solusi atas kemiskinan, upah murah, pendidikan dan kesehatan mahal, sembako mahal, subsidi yang dicabut dan segudang problem yang dihadapi oleh rakyat. Rakyat dibiarkan bekerja dan berjuang sendirian dibawah represi demokrasi borjuasi.
Tak ada jalan keluar selain rakyat harus mengorganisasikan diri dalam sebuah kekuatan alternatif yang akan menumbangkan parlemen borjuasi dan mengubah demokrasi liberal borjuis dengan demokrasi kerakyatan yang lahir dewan-dewan rakyat. Untuk mencapai hal itu bukanlah pekerjaan yang ringan dan selesai beberapa hari. Akan tetapi butuh banyak prasyarat yang harus dipersiapkan. Kita harus terus berjuang untuk setiap keberanian-militansi-kesolidan perjuangan rakyat merebut hak-hak normatif (Perjuangan Upah Layak, Pendidikan Gratis, Demokratisasi Kampus, Kebebasan Berserikat, Jaminan Sosial yang adil dan merata, dll) - meskipun di bawah represi demokrasi borjuasi. Dengan catatan kemenangan normatif itu adalah untuk memperkuat kesadaran, menempa kepercayaan diri dalam membangun demokrasi rakyat sejati, kemandirian kelas dan kesatuan rakyat sebagai kelas yang ditindas.
Rebut Demokrasi Sejati dengan Alat Politik Alternatif !



Oleh : Nuy Lestari, KPP DPP SMI

0 komentar:

Posting Komentar