Agustus lalu, genap 69 tahun
sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, pada kenyataannya kita tak
kunjung lepas dari penjajahan modal. Selain nostalgia semu soal kemerdekaan,
tahun 2014 menjadi momen politik yang menentukan pergantian rezim pro modal ke
rezim pro pasar bebas berikutnya, Jokowi-JK. Di tengah gegap-gempita pemilu dan
kisruh parlemen elit hari ini, tentunya kita tidak bisa melepas bagaimana
situasi nasional Indonesia yang akan bergejolak. Hal yang paling penting untuk
kita tinjau adalah bagaimana situasi ekonomi nasional prapemilu maupun pasca
pemilu berlangsung.
Pasca krisis global pada tahun
2008, kita dihadapkan dengan situasi penyelamatan krisis global. Penyelamatn
krisis tersebut dijalankan dengan skema agenda kompetis pasar bebas
(globalisasi) di seluruh kawasan di dunia. Skema globalisasi dijalankan melalui
skema liberalisasi dalam tiga aspek yaitu liberalisasi modal, liberalisasi
pasar dan liberalisasi tenaga kerja. Di kawasan Asia Tenggara sendiri skema
tersebut dilakukan dengan merealisasikan pasar bebas antar negara di kawasan
tersebut. Misalnya kesepakatan pasar bebas AC-AFTA, AIFTA, yang menghantarkan
Indonesia ke dalam situasi keruntuhan
kedaulatan ekonomi. Pada tahun 2015 nanti kita akan dihadapkan pada pengesahan
persaingan bebas antar kawasan ASEAN melalui kesepakatan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). MEA merupakan turunan dari
berbagai kesepakan internasional yang gencar dilakukan pada akhir 2013.
Beberapa pertemuan internasional tersebut diantaranya pertemuan WTO, APEC, G-8,
G-20, dan sejenisnya. Dengan alibi kerjasama ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi nasional, mereka menawarkan obat mujarab
dari krisis, yaitu pembukaan pasar bebas, liberalisasi arus modal dan
liberalisasi pasar dan liberalisasi tenaga kerja.
Lantas dirumuskan
kebijakan-kebijakan pendukung dari skema penyelamatan krisis tersebut, yaitu
pencabutan subsidi di sektor publik, salah satunya BBM. Jokowi-Jusuf Kalla
berkoar bahwa beban subsidi BBM yang ditanggung oleh APBN mencapai Rp. 291,1
triliun bph.—sebagaimana hal ini terekam di dalam rumusan RAPBN 2015 – maka harga BBM harus dinaikkan. Oleh karena
itu, situasi seolah-olah tak ada pilihan lain bagi rakyat, selain diminta untuk
berhemat dan “nerimo” terhadap kebijakan kenaikan harga BBM. Padahal dampak dari
kenaikan harga energi tersebut, jelas akan memukul sektor riil dan akan
memperbesar jumlah keluarga miskin yang hidupnya bergantung pada upah.
Demokrasi yang dielu-elukan
sepanjang momen menjelang Pemilu kemarin, hanya menawarkan pepesan kosong
terhadap kesejahteraan rakyat. Sebab, siapapun presiden dan wakilnya, dari
kelompok manapun parlemen dan komisi-komisinya, akan tetap meneruskan agenda
liberalisasi ekonomi di negeri ini, yaitu skema pencabutan subsidi dan MEA
2015. Sebab, titik poin dari skema MEA 2015 adalah memperluas pasar dan
produksi bagi imperialisme, si tuan modal besar. Liberalisasi tak hanya
mengakar pada kebijakan dan pada pemerintah pusat, namun pembentukan KEK yang
disokong oleh regulasi ekonomi tersebut, membuat cengkeraman modal kuat
mengakar sampai ke riak bawah. Posisi pemerintah bukan sebagai kontroling, tapi
sebagai pembuat kebijakan pro-modal. Oleh karena itu, baik dari pemerintah
pusat, pemerintahan daerah hingga sekup birokrasi terkecil, kelurahan – yang
lahir, tumbuh dan berkembang di dalam sistem demokrasi borjuasi, hanya akan
menjadi pemulus kepentingan borjuasi pula, yang berorientasi profit.
Pilkada
Langsung Atau Tidak Langsung – Bukan Solusi
Sebelum bergulir kontroversi UU
Pilkada, terlebih dahulu sudah disahkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang pemilihan
MD3 (DPR, DPD dan MPR). Kemudian baru disahkan UU Pilkada yang mengatur tentang
mekanisme pemilihan kepala daerah (BAB II, pasal 2, 3, 4, 5, dan 6). Pihak-pihak
yang paling berkepentingan dengan sistem pemilihan tersebut tak lain adalah
kubu Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, Hanura, PKB, Demokrat) yang pro Pilkada
langsung versus kubu Koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, PKS, PAN) yang
menyetujui UU Pilkada. Kondisi itu menunjukkan bahwa situasi kebangkrutan
parlemen borjuasi hari ini tengah menghasilkan konflik elitis yang
memperhadapkan dua kubu : pendukung pilkada langsung versus pilkada lewat DPRD.
Opini publik kemudian digiring ke pilihan pilkada langsung atau tidak langsung
- menjadi satu-satunya ruang pertaruhan bagi nasib rakyat. Akhirnya, semua
seolah sibuk hanya berdebat soal teknis-prosedural dari demokrasi, tapi
mengabaikan persoalan paling pokok : bahwa bangunan demokrasi adalah demokrasi
borjuasi, yang akan tetap berorientasi pada kepentingan kaum modal.
Lantas bagaimana situasi demokrasi
kita sesungguhnya?
Pertama, telah terjadi pembatasan
demokrasi jauh-jauh hari. Paket UU yang dilahirkan dari sistem demokrasi
borjuasi liberal seperti UU Kamnas, UU Ormas, UU no 8/2012 tentang Pemilu, dan
perangkat regulasi lainnya menjadi manifestasi yang bermotif mempertahankan
kekuasaan borjuasi. Situasi kongkritnya, rakyat kembali menjadi komoditas
politik, dengan
mereduksi makna demokrasi hanya sekedar hak memilih (right to vote),
baik memilih badan perwakilan maupun pejabat eksekutif, dalam bilik suara
setiap lima tahun sekali. Perangkat UU yang dihasilkan oleh parlemen borjuasi
tidak akan memposisikan partisipasi rakyat dalam berbagai proses pengambilan
kebijakan yang menyangkut publik/rakyat. Tak perlu heran jika sekonyong-konyong
muncul satu-per satu regulasi yang jelas motifnya untuk memperbesar akumulasi
kapital.
Kedua, dalam parlemen borjuasi, kita dibuat
berilusi bahwa lewat para perwakilan rakyat yang terpilih ini (badan
legislatif) maka rakyat punya kendali atas birokrasi pemerintah (badan
eksekutif). Padahal, para birokrat pemerintah yang tidak dipilih inilah yang
sebenarnya menjalankan fungsi-fungsi pemerintah di belakang layar, sementara
parlemen hanya jadi tempat debat kusir untuk mengelabui rakyat. Salah satu
contoh, UU Ketenagakerjaan merupakan produk politik parlemen. Seolah UU ini
menjadi jaminan bagi kesejahteraan buruh, akan tetapi pada tingkatan kementrian
atau badan-badan yang terkait sering kali tidak ada implementasi atau
pengawasan. Pelanggaran dibiarkan. Sementara hukum bisa dibeli dengan uang. Tak
usah heran, birokrasi yang dianak-pinakkan oleh sistem demokrasi hanya akan
menghasilkan kesengsaraan bagi rakyat. Mudah kita temui kasus korupsi,
suap-menyuap antar elit hingga Pemilu setingan ala transaksi uang sudah
mendarah daging dalam demokrasi liberal ini. Kebobrokan borjuasi inilah yang
dimanfaatkan oleh kaum modal untuk terus mengakumulasi kekayaan, sehingga
disisi lain mengakumulasi kesengsaraan rakyat.
“Demokrasi borjuasi, walaupun adalah sebuah
kemajuan historis yang besar dibandingkan dengan abad pertengahan, akan selalu
terbatas, tidak lengkap, dan munafik, sebuah surga untuk yang kaya dan jebakan
dan tipuan bagi yang tertindas, bagi yang miskin.” (Negara dan Revolusi -
1917, Lenin)
Polemik Pilkada langsung ataupun
tidak langsung, hanya akan berputar-putar pada persoalan bagaimana
mempertahankan demokrasi dan parlemen borjuasi saja. Tidak akan ada solusi atas
kemiskinan, upah murah, pendidikan dan kesehatan mahal, sembako mahal, subsidi
yang dicabut dan segudang problem yang dihadapi oleh rakyat. Rakyat dibiarkan bekerja
dan berjuang sendirian dibawah represi demokrasi borjuasi.
Tak ada jalan keluar selain
rakyat harus mengorganisasikan diri dalam sebuah kekuatan alternatif yang akan
menumbangkan parlemen borjuasi dan mengubah demokrasi liberal borjuis dengan
demokrasi kerakyatan yang lahir dewan-dewan rakyat. Untuk mencapai hal itu
bukanlah pekerjaan yang ringan dan selesai beberapa hari. Akan tetapi butuh
banyak prasyarat yang harus dipersiapkan. Kita harus terus berjuang untuk
setiap keberanian-militansi-kesolidan perjuangan rakyat merebut hak-hak
normatif (Perjuangan Upah Layak, Pendidikan Gratis, Demokratisasi Kampus,
Kebebasan Berserikat, Jaminan Sosial yang adil dan merata, dll) - meskipun di
bawah represi demokrasi borjuasi. Dengan catatan kemenangan normatif itu adalah
untuk memperkuat kesadaran, menempa kepercayaan diri dalam membangun demokrasi
rakyat sejati, kemandirian kelas dan kesatuan rakyat sebagai kelas yang
ditindas.
Rebut
Demokrasi Sejati dengan Alat Politik Alternatif !
Oleh
: Nuy Lestari, KPP DPP SMI
0 komentar:
Posting Komentar